berita terkini, 24 januari 2010

Sopir “Xenia Maut” Hanya Dihukum 6 Tahun Penjara?

owblabla – Sopir Xenia maut Afriyani Susanti (29) yang menabrak pejalan kaki di trotoar dan menewaskan 9 orang pada Minggu 22 Januari 2012, positif menggunakan narkoba sebelum membawa mobil. Ketua DPR Marzuki Alie berang. Ia meminta polisi memberikan hukuman setimpal untuk warga Tanjung Priok itu, Sopir “Xenia Maut”.

“Agar tidak ada lagi masyarakat yang tidak berdosa menjadi korban dari perilaku tidak bertanggungjawab orang-orang pengguna narkoba dan alkohol,” kata Marzuki Alie, Selasa 24 Januari 2012.

Marzuki mengimbau para pengelola hiburan malam membatasi penjualan minuman beralkohol. Satu hal yang juga  ditekankan Marzuki, jika ada tamu di lokasi hiburan malam yang pulang dalam keadaan mabuk, pengelola dapat melakukan tindakan.

“Saya minta para pemilik tempat hiburan itu untuk menempatkan orang-orangnya di area parkir kendaraan. Jika melihat tamu yang mau pulang dalam kondisi mabuk dan ingin mengendarai mobil, maka bisa dilakukan tindakan,” kata Marzuki.

Selain itu, Marzuki juga mengimbau agar Kepolisian melakukan razia rutin terhadap pengendara mobil yang di bawah pengaruh alkohol. Razia rutin yang kerap dilakukan di negara lain.

Sopir “Xenia Maut” ini terancam dijerat pasal berlapis. Selain disangka melanggar tiga pasal Undang-Undang Lalu Lintas, pekerja sebuah rumah produksi itu dijerat dengan pasal penggunaan narkoba.

Pasal ini juga dipakai untuk menjerat tiga kawan Afriani: Adistina Putri Gani, 25 tahun; Ari Sendi, 34 tahun; dan Deni Mulyana, 30 tahun. “Keempatnya kami tetapkan sebagai tersangka pengguna narkoba,” kata Direktur Narkoba Polda Metro Jaya, Komisaris Besar Polisi Nugroho Aji, melalui telepon, Senin, 23 Januari 2012.

Penetapan itu, menurut Nugroho, didasarkan pada hasil tes di Rumah Sakit Polri Kramat Jati, Jakarta Timur, yang menunjukkan urine mereka mengandung zat methamphetamine. Zat terlarang ini biasa terkandung dalam narkotik jenis sabu dan ekstasi. Saat ini, keempatnya masih diperiksa secara intensif di Mapolda Metro Jaya.

Dalam kasus kecelakaan, menurut Nugroho, keempatnya memberikan kesaksian berbelit. “Semula mengaku remnya blong. Setelah dicek, remnya tidak blong,” kata Nugroho. ” Belakangan mereka mengaku minum minuman beralkohol”

Menurut Nugroho, mereka mengaku telah menggunakan ekstasi pada dinihari sebelum kecelakaan nahas yang menewaskan sembilan orang pada Minggu kemarin. “Menurut pengakuan tersangka, mereka mengkonsumsi dua buah pil ekstasi yang dibagi untuk empat orang itu,” ujarnya.

Juru bicara Polda Metro Jaya Komisaris Besar Rikwanto mengatakan, dalam kasus tabrakan, Afriani dikenai pasal berlapis Undang-Undang Lalu Lintas. Sementara tiga temannya yang menumpang mobil hanya dijadikan sebagai saksi.

Ketiga pasal yang dilanggar adalah Pasal 283 mengenai mengemudikan kendaraan bermotor secara tidak wajar atau terganggu konsentrasinya, Pasal 287 ayat 5 tentang pelanggaran aturan batas kecepatan tertinggi atau terendah dalam berkendara, dan Pasal 310 ayat 1 sampai 4 tentang orang atau kendaraan yang mengakibatkan kecelakaan atau kerusakan, yang korbannya mulai dari luka ringan sampai meninggal. ”Ancaman hukumannya antara lain hukuman penjara selama enam tahun,” katanya.

Adapun dalam kasus narkoba, Afriani dan kawan-kawannya akan dijerat Pasal 127 Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang penyalahgunaan narkotika dengan ancaman hukuman satu tahun penjara.

 

 

Aku Bukan Milikmu!
Selasa, 24 Januari 2012 | 13:54 WIB

BUDAK-BUDAK di Batavia, yang tidak tahan lagi dilecehkan dan disiksa, berhak menuntut majikannya di pengadilan. Namun, hal ini jarang sekali terjadi; mereka lebih sering melarikan diri atau mengamuk. Saking banyaknya budak yang mengamuk, kata amok sampai diserap ke dalam kosa kata Bahasa Belanda dan Bahasa Inggris.

Budak-budak dari Bali, Bugis dan Makassar yang melarikan diri membuat daerah sekitar kota Batavia dan Karawang tak aman karena mereka merampok dan mencuri (lihat F. De Haan. Oud Batavia. Batavia: G Kolff & Co. 1922). Serdadu-serdadu bersenjata dikirimkan untuk mengendalikan situasi dan sejumlah uang ditawarkan kepada siapa saja yang dapat menangkap budak yang melarikan diri. Situasi ini semakin menjadi-jadi karena banyak pecundang yang membujuk budak-budak untuk melarikan diri, kemudian menangkap mereka dan menjualnya lagi! Penculikan pun sering terjadi. Adakalanya seseorang (pribumi) yang tidak dapat membuktikan identitasnya, ditangkap begitu saja dan dijual sebagai budak.

Para budak yang menimbulkan kemurkaan majikannya biasanya dihukum dengan pukulan rotan oleh majikan mereka. Di berbagai tempat terdapat tiang-tiang khusus untuk mengikat seorang budak atau terhukum. Seorang majikan yang tidak sanggup menghukum budaknya dapat membayar seorang polisi untuk mencambuk budaknya di tiang-tiang itu.

Budak yang dituntut dan dihukum oleh hakim di pengadilan terkadang mendapat hukuman pemotongan telinga, brandmerk (dicap dengan besi panas) atau dibelenggu dengan rantai besi. Banyak rumah di Batavia mempunyai sebuah slavenhok (kandang budak) untuk memenjara budak yang mengamuk. Seorang majikan yang tidak memiliki penjara seperti itu di rumah dapat memberikan 30-40 sen per hari kepada sipir penjara Batavia untuk menahan budaknya.

Budak-budak yang digambarkan dalam lukisan-lukisan tua tampak berpakaian rapi dan bagus. Wajah mereka pun tampak tenang–tanpa ekspresi–sehingga yang melihat lukisan itu tidak selalu tergerak untuk memikirkan nasib mereka yang jauh dari bahagia. Barangkali dalam imajinasi nakal setiap orang, bahkan ada yang membayangkan dirinya dikelilingi budak lelaki tampan atau budak perempuan cantik yang berpakaian seronok, gemulai menggerakkan kipas bulu merak, memegang payung keemasan dan menyuapkan buah anggur. Alangkah nikmatnya. Tetapi, tak ada orang yang membayangkan dirinya sendiri sebagai budak di antara puluhan bahkan mungkin ratusan budak yang mengelilingi Maharaja atau Maharani itu!

Tak seorang pun mau menjadi budak atau diperbudak. Pada tahun 1853, Harriet Beecher Stowe menulis buku Uncle Tom’s Cabin. Buku itu membuat orang sadar bahwa perbudakan adalah sesuatu yang sangat tidak manusiawi. Pada tahun 1855, WR Baron v Hoëvell menulis: ” … Belanda adalah negeri kaya … (di mana) setiap rumah merupakan istana yang dibangun dari perasan sari kehidupan, keringat dan darah para budak.” (lihat Slaven en Vrijen onder Nederlandsche Wet, 1855). Sejak itu, isu (anti) perbudakan ramai didiskusikan (selama bertahun-tahun) di Negeri Belanda maupun di nusantara.  Akhirnya, pada tahun 1860, perbudakan dihapuskan di seluruh Nusantara.

 

Memantau Gunung, Menjaga Kehidupan
| Fikria Hidayat | Selasa, 24 Januari 2012 | 14:12 WIB
KOMPAS/TOTOK WIJAYANTO Bapak-anak, Giyono (kiri) dan Budi Priyanto, penjaga Pos Pengamatan Gunung Kelud di Desa Sugihwaras, Ngancar, Kediri, Jawa Timur.

Oleh Indira Permanasari dan Ahmad Arif

KOMPAS
– Khoirul Huda (45) tidak akan pernah melupakan letusan Gunung Kelud tahun 1990 yang hampir saja merenggut jiwanya. Ia selamat berkat seperiuk nasi yang terlambat matang.

Sejak Desember 1989, Gunung Kelud (1.731 meter di atas permukaan laut) yang telah berkali-kali meletus itu menguji ketabahan para pemantau gunung api. Pengukur gempa yang ditanam di gunung ini mengirimkan getaran hilang timbul yang mencurigakan. Kelud memang gunung yang irit gempa. Untuk mengungkap aksi mencurigakan Kelud, Khoirul dan rekannya, Giyono (71)—saat ini pensiun—rajin mendaki ke danau kawah Kelud untuk mengukur suhu air. ”Tengah malam sebelum meletus, gempa mendadak hilang,” ujar Khoirul. ”Kami berencana pagi-pagi naik lagi ke kawah untuk mengukur suhu.”

Namun, pagi itu, 10 Februari 1990, Giyono telat bangun sehingga lambat mempersiapkan bekal. Sambil menunggu nasi masak, Khoirul mengamati jarum seismograf dan kaget mendapati jarum seismograf bergetar hebat.

Rencana naik ke kawah pun dibatalkan. Betul saja, pukul 11.41, Kelud meletus hebat. Abu dan bom lava memenuhi pekarangan Pos Pengamatan Gunung Kelud di Desa Sugihwaras, sejauh 7 kilometer dari kawah. ”Setidaknya 50 orang tewas saat itu,” kata Khoirul. ”Kalau saja Giyono bangun tepat waktu seperti kebiasaannya, kami pasti celaka. Nasi yang belum masak itu menyelamatkan kami.”

Kelud salah satu gunung teraktif di Indonesia dan memiliki periode letusan hampir konstan dari 15 sampai 30 tahun. Menurut Kusumadinata (1979), sejak letusan tahun 1586, Kelud telah menewaskan setidaknya 15.000 orang, termasuk dua pemantau gunung dalam letusan tahun 1951. Risiko kematian memang dekat dengan para pekerja gunung api. Pada 27 Juli 2000, dua petugas vulkanologi dari Bandung, Mukti dan Pardan, tewas terkena lava pijar Gunung Semeru.

Namun, bagi Khoirul yang sudah 23 tahun menjadi pemantau gunung, rasa takut itu dipendamnya jauh-jauh. Saat Kelud menjelang meletus, dia selalu terdorong untuk berada di dekat gunung itu.

Giyono yang baru saja pensiun sebagai pengamat gunung api pun tidak pernah khawatir bekerja di tempat berisiko tinggi itu. ”Ini tugas, sudah risiko,” ujar Giyono.

Bagi Giyono, pekerjaan itu menjadi bagian hidupnya dan dengan penuh kebanggaan dilakoni. Kebanggaan sebagai pemantau gunung api itu pula yang diwariskan kepada anaknya, Budi Priyanto (42). Bocah yang dulu kerap dibawanya ke pos pengamatan saat Giyono bertugas itu kini meneruskan jejaknya sebagai pemantau Gunung Kelud. Gaji sekitar Rp 6 juta per bulan yang diterimanya, bagi Budi, merupakan berkah yang disyukurinya, sekalipun tanpa tunjangan risiko dan ia bekerja nyaris tanpa libur. ”Menjaga gunung, artinya kami juga menjaga keselamatan orang banyak,” ujar Budi.

Berani hidup

Namun, panggilan tugas sebagai penjaga gunung ini kadang dilakukan dengan mengabaikan keselamatan sendiri. Itulah yang dilakukan Budi saat aktivitas Kelud memuncak pada 2007. Jumat, 3 November pukul 16.00, gempa tremor di Kelud memuncak. Abu berjatuhan di sekitar Pos Pengamatan Gunung Kelud. Saat itu juga, Kepala Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi Surono memerintahkan semua anak buahnya agar meninggalkan pos pengamatan Kelud di Sugihwaras sambil membawa peralatan pemantauan.

Tiga mobil yang telah disiapkan dalam posisi siap berangkat jika sewaktu-waktu letusan terjadi bergegas pergi dengan dijejali para ahli gunung api, termasuk Surono. Mereka mengungsi ke Kantor Kepolisian Sektor Ngancar, 15 kilometer dari kawah Kelud. Namun, Budi yang berada satu mobil dengan Surono minta diturunkan di tengah jalan dengan alasan hendak menjemput istri.

Budi rupanya tak hanya menjemput istri. Ia kembali ke pos pengamatan Kelud dengan sepeda motor untuk mengambil kamera yang tertinggal dan mengganti kertas seismogram yang hampir habis saat ditinggalkan.

Ketika akhirnya kembali ke pos pengamatan di Sugihwaras, 4 November dini hari, Surono dikejutkan dengan jejak kegempaan yang terekam runtut di seismogram, tanpa ada kekosongan data. ”Seseorang diam-diam datang ke pos itu untuk mengganti kertas,” Surono menyimpulkan.

Di tengah ketegangan suasana, Surono menginterogasi anak buahnya. Budi akhirnya mengaku dan dimarahi Surono habis-habisan. ”Saya sudah kehabisan sertifikat kepahlawanan. Kalau sampai celaka, siapa yang akan membantu menyelamatkan masyarakat di sekitar gunung api?” kata Surono.

Menurut Surono, para penjaga gunung api harus berani hidup, bukan berani mati. ”Petugas pemantauan juga harus memberi contoh bagaimana mengerti bahaya gunung api. Bagaimana masyarakat mau mengungsi kalau petugasnya tidak menghargai hidupnya sendiri,” katanya.

 

Ketika Binatang Turun Gunung
| Fikria Hidayat | Selasa, 24 Januari 2012 | 14:25 WIB
KOMPAS IMAGES/FIKRIA HIDAYAT Aktivitas penambangan pasir di Kali Badak di sebelah barat Gunung Kelud, Kecamatan Nglegok, Blitar, Jawa Timur, Sabtu (5/11/2011). Kali ini merupakan aliran terbesar lahar Gunung kelud.

 

Oleh Ahmad Arif dan Indira Permasari

Kisah tentang hewan yang berlarian turun menjelang letusan gunung api kerap menjadi penanda alam bagi masyarakat lokal untuk mengungsi. Penelitian Kepala Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Surono di Kelud menjelaskan secara ilmiah soal binatang yang turun gunung menjelang letusan.

Giyono (71) hampir sepanjang hidupnya bertugas memantau aktivitas Gunung Kelud. Dia bertugas di Pos Pemantauan Gunung Kelud di Desa Sugihwaras, Kediri, Jawa Timur. Sudah empat kali dia menyaksikan letusan Kelud, yaitu tahun 1956, 1966, 1990, dan 2007. Menurut kesaksiannya, sebelum Kelud meletus, binatang-binatang berlarian turun gunung. ”Biasanya ular dan kijang turun sebelum Kelud meletus,” katanya.

Geolog Museum Geologi, Indyo Pratomo, juga menyaksikan binatang yang turun menjelang letusan Gunung Kelud pada 10 Februari 1990. Pada Desember 1989, Indyo yang saat itu meneliti untuk kepentingan disertasinya di Universitas Blaise Pascal, Clermont-Ferrand II, Perancis, menyaksikan ular piton yang keluar sarang dan ditangkap warga di lereng Kelud.

Bahkan, pada akhir Desember itu, Indyo dan rekannya, ahli gunung api dari Universitas Savoie, Perancis, Jean Van de Meulbreuck, dan Khairul Huda, petugas pos pemantauan Gunung Kelud, disengat ratusan tawon bangbara (Xylocopa spp)—tawon ndas, dalam bahasa Jawa— yang mengamuk tanpa sebab. Saat itu, mereka berada di terowongan, tak jauh dari kawah Kelud. ”Tawon itu seperti kebingungan dan marah kepada siapa saja yang ada di dekatnya tanpa sebab,” katanya. Indyo dan kedua rekannya harus dirawat di rumah sakit karena sengatan ratusan tawon itu.

Di gunung-gunung lain, kisah serupa juga disebutkan para saksi mata. Selama ini kisah tentang turunnya hewan-hewan dari gunung api menjelang letusan sering dijadikan pertanda masyarakat lokal untuk turut mengungsi. Binatang sering dianggap memiliki ”indra keenam” yang bisa mendeteksi sesuatu yang tak mampu diraba manusia.

Frekuensi tinggi

Bagi Kepala Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi Surono, fenomena ini sebenarnya bisa terjelaskan secara ilmiah. Menjelang letusan Kelud pada tahun 1990, Surono memasang alat pemantau akustik di gunung itu untuk kepentingan disertasinya di Universitas Grenoble, Perancis. Dia memasang alat yang bisa memantau gelombang suara berfrekuensi rendah (0,1-50 Hertz/Hz), frekuensi menengah (200 Hz- 5.000 Hz), dan frekuensi tinggi (di atas 15 kHz).

”Saya memasang tiga alat pendeteksi frekuensi itu untuk mengetahui mekanisme yang terjadi di tubuh Kelud saat kegiatannya meningkat,” katanya. Menjelang Kelud meletus pada 1990, gunung ini sangat tenang dan sepi dari gempa sehingga diperlukan indikator lainnya, yaitu suara.

”Sebelum gunung meletus, ada tekanan fluida (bisa berupa gas, uap air, atau magma) yang mendorong sumbat gunung,” katanya. Namun, tekanan ini masih bisa ditahan sumbat gunung itu. Batuan juga memiliki daya elastisitas tertentu. Ketika ditekan, dia akan melentur sebelum pada suatu titik akan jebol.

Dorongan tekanan tinggi yang membentur sumbat gunung itulah yang memunculkan frekuensi tinggi yang suara bisingnya hanya bisa didengar hewan tertentu. ”Pada saat itulah hewan-hewan yang tak tahan suara bising ini berlarian turun dari gunung,” kata Surono.

Suara dengan frekuensi tinggi ini tidak bisa didengar manusia yang hanya mampu mendengar suara dengan frekuensi 20 Hz- 20 kHz. Berbeda dengan binatang, misalnya kelelawar atau lebah, yang bisa menangkap suara dengan frekuensi hingga di atas 100 kHz.

Ketika kemudian, batuan penyumbat ini jebol, barulah letusan akan terjadi. Jadi, ketika hewan-hewan mulai turun gunung, bisa dianggap sebagai penanda gunung itu akan meletus.

Dari penelitiannya, Surono menemukan, bising frekuensi tinggi mulai meningkat pada 16 Desember 1989, kemudian melonjak tinggi dan mencapai titik maksimum pada 28 Desember 1989, lalu konstan sejak 10 Januari 1990. Dengan mencocokkan data dari Indyo Pratomo yang disengat tawon pada akhir Desember, Surono berkesimpulan, perilaku aneh binatang itu disebabkan peningkatan frekuensi tinggi di gunung itu.

Pada 16 Januari 1990, frekuensi tinggi ini kemudian turun cepat, yang menandakan penyumbat sudah jebol dan akhirnya Kelud meletus pada 10 Februari 1990. Pada saat frekuensi suara tinggi turun, batuan telah pecah-pecah. Gempa vulkanik muncul sebagai tanda batuan sudah mengalami retakan, yang dibarengi dengan meningkatnya tekanan akustik frekuensi rendah.

Indikator akustik

Menurut Surono, detektor akustik atau suara ini bisa menjadi alat pantau alternatif di gunung-gunung api yang memiliki danau kawah, khususnya Gunung Kelud yang aktivitas kegempaannya kurang. ”Di dalam air, hanya gelombang tekan yang bisa berjalan. Gelombang geser dan lainnya tidak bisa menjalar di air. Itulah kenapa indikator akustik penting dipasang di gunung api yang memiliki danau kawah,” katanya.

Namun, menurut Surono, tidak semua gunung yang memiliki danau kawah bisa dipasang alat ini. ”Danau kawah yang ada ikannya tidak bisa dipasangi alat ini karena akan mengganggu ikan,” katanya.

Di Indonesia, menurut Surono, selain sukses di Kelud saat meletus tahun 1990, alat akustik ini juga belum diterapkan di gunung-gunung lain. ”Saat Kelud krisis pada 2007, alat saya ini malah rusak,” katanya.

Untuk sementara, binatang masih bisa dijadikan salah satu indikator peningkatan aktivitas gunung api yang paling mudah dilihat masyarakat.

”Masalahnya, saat ini banyak binatang di Kelud yang telah diburu,” kata Giyono.

Karena itu, menurut Surono, jangan sampai masyarakat terkecoh dan tidak mau mengungsi karena menjelang letusan Kelud, tidak ada lagi binatang yang turun gunung. Apalagi, indikator turunnya binatang ini juga hanya salah satu dari sekian banyak cara untuk mendeteksi peningkatan aktivitas gunung api, seperti meningkatnya gempa vulkanik, perubahan tubuh gunung, dan meningkatnya suhu air kawah.

 

Kondisi Iran Bisa Mengubah Asumsi APBN 2012
Ester Meryana | Erlangga Djumena | Selasa, 24 Januari 2012 | 12:58 WIB
shutterstock Ilustrasi

 

JAKARTA, KOMPAS.com – Anggota Komisi VII DPR RI, Satya Widya Yudha, mengatakan asumsi Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2012 terkait harga minyak mentah Indonesia (ICP) harus diubah seiring dengan kian memanasnya kondisi Iran dengan sejumlah negara Barat.

“Itu harus dilihat dampaknya dalam tiga bulan ke depan. Kalau lihat blokade mengakibatkan kenaikan harga minyak mentah, maka asumsi makro (terkait minyak mentah dalam APBN 2012 ) harus diubah,” kata Satya kepada Kompas.com, Selasa ( 24/1/2012 ).

Karena dalam APBN 2012 , asumsi harga minyak mentah Indonesia (ICP) dibuat hanya 90 dollar AS per barrel. Sementara belakangan ini karena ketegangan Iran dengan negara-negara Barat telah membuat harga minyak mentah sempat lama berada di atas 100 dollar AS. Posisi penutupan harga minyak West Texas Intermediate di Nymex pada Senin ( 23/1/2012 ) waktu New York pun telah berada pada harga 99,58 dollar AS per barrelnya.

Tetapi, Satya pun menyebutkan, tidak serta merta hanya harga minyak mentah internasional saja yang dilihat. Pemerintah juga harus melihat pergerakan kurs rupiah.

Terkait harga ini, ia mengingatkan, asumsi ICP sebesar 80 dollar AS per barrel saja, ketika ada kenaikan harga minyak sebesar 1 dollar AS maka defisit anggaran negara bisa mencapai Rp 500 miliar. Apalagi jika harga minyak mentah bisa mencapai 100-120 dollar AS maka defisit anggaran bisa mencapai Rp 1 triliun per kenaikan harga minyak 1 dollar AS. “Makanya itu musti diantisipasi,” tuturnya.

Selain mengubah asumsi, pengetatan konsumsi BBM bersubsidi harus dilakukan. Baik itu dengan cara pengalihan konsumsi BBM bersubsidi ke bahan bakar gas dan pertamax ataupun kenaikan harga BBM bersubsidi.

Selain itu, ia mengingatkan agar pemerintah juga bisa mengantisipasi kemungkinan bergejolaknya pasokan minyak mentah dari Iran dan negara Timur Tengah lainnya yang melakukan pengiriman lewat Selat Hormuz. Pasalnya, jika Iran benar-benar jadi menutup selat tersebut, pasokan minyak bisa terganggu. Maklum saja, minyak mentah Indonesia pun sebagian bergantung dari impor, termasuk dari Iran. “Harus diingat separuh BBM (Bahan Bakar Minyak) itu diimpor. Tidak hanya dalam bentuk crude (minyak mentah saja yang diimpor),” tegas Satya.

Oleh sebab itu, kata dia, pemerintah harus mengantisipasi dengan mencari pasokan yang tidak bersumber dari negara di sekitar Hormuz, seperti impor minyak dari Venezuela dan Azerbaijan. “Ini yang kita minta supaya pasokan aman,” pungkas Satya.

Untuk diketahui saja, Iran mengancam akan menutup Selat Hormuz jika Barat jadi melakukan embargo impor minyak mentahnya. Pasalnya, minyak mentah memberikan pemasukan bagi pendapatan negara tersebut hingga 90 persen. Selat itupun menjadi satu-satunya jalan perairan bagi 8 negara di kawasan Teluk Persia seperti Arab Saudi, Uni Emirat Arab, Qatar, Bahrain, Kesultanan Oman, Kuwait, Irak dan Iran sendiri.

Sejauh ini, Amerika Serikat yang telah menetapkan sanksi kepada Iran seiring dengan proyek nuklirnya. Sementara Uni Eropa baru saja mengumumkan larang impor dari Iran yang katanya akan dilakukan Juli mendatang.

 

 

Ini Negara Pemilik Cadangan Emas Terbesar
| Erlangga Djumena | Selasa, 24 Januari 2012 | 13:43 WIB
SHUTTERSTOCK Ilustrasi

 

NEW YORK, KOMPAS.com — Emas memiliki peranan besar dalam menjaga sistem keuangan sebuah negara. Logam mulia ini menjadi aset terbesar di sejumlah devisa negara.

Nilai emas yang secara historis selalu mencatatkan kenaikan tahunan menjadi acuan bagi negara untuk mempertahankan kepemilikannya.

Dari tahun ke tahun, Amerika Serikat (AS) menempati posisi pertama dengan jumlah emas terbesar di antara negara maupun institusi keuangan di dunia. Paman Sam meninggalkan standar emas pada 1971.

Di posisi kedua, Jerman juga memiliki cadangan emas yang cukup besar. Bank Sentral Jerman, Deutsche Bundesbank, yang bermarkas di Frankfurt, menjadi manajer cadangan devisa negara. Namun ada kabar bahwa sebagian fisik emas milik Jerman itu disimpan di The Federal Reserves AS. Wartawan internasional Max Keiser menerima pengakuan beberapa bagian fisik emas The Fed dimiliki oleh Bundesbank.

Posisi ketiga diduduki oleh International Monetary Fund (IMF). Beranggotakan 187 negara, kebijakan kepemilikan emas di IMF selalu berubah dari tahun ke tahun. Cadangan ini dimaksudkan untuk membantu perekonomian anggotanya. Tergantung dari kondisi pasar, Dana Moneter Internasional ini selalu melakukan aksi beli maupun aksi jual sebagai inisiatif kondisi ekonomi.

Berikut adalah daftar pemilik emas terbesar di dunia :

Nama Negara Jumlah (ton) Porsi devisa (%)
1 Amerika Serikat (AS) 8.133,50 76,9
2 Jerman 3.396,30 74,2
3 IMF 2.814,10
4 Italia 2.451,80 73,9
5 Prancis 2.435,40 73,7
6 China 1.054,10 1,8
7 Swiss 1.040,10 16,8
8 Rusia 873,6 9,6
9 Jepang 765,2 3,3
10 Belanda 612,5 63
11 India 557,7 10
12 ECB 502,1 34,8
13 Taiwan 422,4 6,1
14 Portugal 382,5 89,8
15 Venezuela 372,9 71,1
16 Saudi Arabia 322,9 3,3
17 United Kingdom 310,3 18
18 Libanon 286,8 32,5
19 Spanyol 281,6 35,5
20 Austria 280 58,3

Tinggalkan komentar